Jakarta Media Kriminalitas- Sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah yang masih menjadi ladang subur praktik korupsi menginisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terus menyosialisasikan upaya pencegahannya. Pasalnya, korupsi di sektor PBJ masih menjadi kasus tindak pidana korupsi terbesar kedua, di bawah gratifikasi dan penyuapan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memaparkan, praktik suap sangat erat dengan pengadaan barang dan jasa. Banyak vendor yang melakukan penyuapan agar laporannya dinyatakan baik saat proses audit.
“Dulu ada e-procurement. Jadi semua dokumen harus di-upload melalui komputer. Tapi yang terjadi ternyata sistem tersebut juga bisa diakali. Para vendor membuat kesepakatan di luar, mengatur harga, dan mengatur siapa yang menang,” ucapnya dalam seminar bertajuk Mitigasi Permasalahan Hukum dan Audit Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, di Gedung SMESCO Indonesia, Jakarta, Rabu (12/6).
Alex menambahkan, sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam meminimalisir korupsi PBJ. Salah satu upaya yang tengah digencarkan pemerintah yakni melalui e-Katalog. Pengadaan barang/jasa pemerintah melalui katalog elektronik semakin populer digunakan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas proses PBJ pemerintah.
Kendati demikian, masih banyak modus korupsi yang dilakukan meskipun pengadaan barang jasa sudah menggunakan platform elektronik.Sebagai implementasi aksi pencegahan korupsi tahun 2023-2024, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) meminta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberikan akses terhadap data pengadaan barang dan jasa melalui katalog elektronik, serta memberikan pedoman pengawasan untuk pengadaan dengan menggunakan katalog elektronik, yang cenderung cepat dan perubahan harga oleh penyedia tidak bisa dihindari.
Alex melanjutkan, terdapat beberapa modus korupsi PBJ yang ditangani KPK. Ia mengatakan, “Ada modus pembelian secara berulang lewat vendor itu-itu saja, itu juga menjadi warning, kenapa tidak ada vendor lain yang menawarkan? Selain itu, ada juga modus dengan me-mark up harga tidak lama setelah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) meng-upload. Sebelumnya pasti ada kesepakatan antara PPK dan vendor, kapan barang akan di-upload di e-Katalog.”
Di samping itu, LKPP diketahui meluncurkan fitur pengawasan e-audit agar modus yang berpotensi korupsi dapat terlacak dan langsung terintegrasi ke LKPP, KPK, dan juga BPKP. Sistem pengawasan ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat yang bisa dimanfaatkan oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), untuk melakukan analisis terhadap modus-modus transaksi yang terindikasi anomali.
Berdasarkan data KPK periode 2004-2023, kasus korupsi di sektor PBJ mencapai 339 kasus. Bahkan, tahun 2023 tercatat sebagai tahun terbanyak korupsi di sektor PBJ dengan jumlah 63 kasus.
Maka dari itu, KPK memasukkan sektor ini ke 8 fokus area dalam Monitoring Centre for Prevention (MCP) dalam mengintervensi perbaikan tata kelola pemerintah daerah, yakni: Perencanaan dan Penganggaran APBD, Pengadaan Barang dan Jasa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Peningkatan Kapabilitas APIP, Manajemen ASN, Optimalisasi Pendapatan Daerah, Manajemen Aset daerah, serta Tata Kelola Dana Desa.
Kerugian yang ditimbulan dari korupsi PBJ, lanjut Alex, sangatlah besar. Oleh karenanya, KPK berharap agar bersama-sama mengawal PBJ agar tak ada lagi yang berusaha untuk mengakali e-Katalog.“Sebetulnya mitigasinya apa? Dari kita selalu vendor maupun selalu PPK kalau kita berani bertindak jujur kan nggak ada persoalan, ambil keuntungan sewajarnya saja, itu kunci untuk menghindari korupsi,” tutup Alex.
Ahli Pidana Sebut E-katalog Tutup Celah "Mark-Up" Di Proses Pengadaan
Sementara itu Ahli hukum pidana dari Universitas Mataram Prof. Amiruddin menyebut aplikasi e-katalog merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menutup celah perbuatan "Mark-Up" (Penggelembungan) harga di proses pengadaan barang dan jasa.
"Kalau dahulu ada standar harga sesuai ketetapan gubernur, kalau enggak ada, maka yang dipakai harga pasar. Tetapi, kalau yang dipakai harga kira-kira, maka itu yang bisa berpotensi terjadi 'mark-up'. Makanya dibuat e-katalog sebagai dasar penyusunan HPS (harga perkiraan sendiri) untuk mencegah terjadi 'mark-up'," kata Prof. Amiruddin dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Jumat.
Guru besar Universitas Mataram ini memberikan pernyataan demikian dalam sidang perkara korupsi pengadaan alat metrologi pada Disperindag Dompu dengan terdakwa Sri Suzana. Prof. Amiruddin dihadirkan oleh penasihat hukum terdakwa sebagai ahli yang meringankan perbuatan terdakwa.
Prof. Amiruddin memberikan pernyataan demikian menanggapi pertanyaan hakim Adhoc Fadhli Hanra yang memberikan ilustrasi perkara ini dengan mengatakan bahwa ada perubahan dalam proses pengadaan dari e-katalog menjadi lelang cepat. Perubahan dalam proses pengadaan ini yang diduga memberikan imbas pada perubahan nilai HPS barang.
Selanjutnya, Fadhli Hanra menanyakan Prof. Amiruddin perihal pinjam bendera dalam proses pengadaan."Ada pihak swasta yang inginkan proyek ini lalu meminjam bendera. Dalam dunia hukum, istilah ini tidak dikenal, tetapi bagi dunia swasta, ini biasa terjadi. Bagaimana tanggapan ahli?" tanya Fadhli.
"Kalau kita ikuti norma hukum, itu enggak boleh, karena itu sudah menyangkut persoalan kompetensi, ada penyimpangan yang terjadi, ada pelanggaran etika pengadaan. Harusnya, itu (lelang) dibatalkan oleh pejabat pengadaan," jawab Prof. Amiruddin.
Perihal adanya hubungan kerabat antara pejabat pengadaan dengan pihak yang terlibat dalam proyek tersebut turut menjadi bahan pertanyaan Fadhli kepada ahli.
"Apakah itu bisa dikatakan melanggar etika pengadaan barang dan jasa sesuai yang diatur dalam Perpres 54 Tahun 2010?" tanya Fadhli.
"Iya, salah satu di antaranya harus mundur. Karena persoalan itu sudah berkenaan dengan konflik kepentingan," kata Prof. Amiruddin.
Fadhli kembali melayangkan pertanyaan terkait pengadaan barang yang datang itu sama, namun memiliki fungsi berbeda.
Menurut Prof. Amiruddin, adanya hal tersebut seharusnya menjadi bahan adenddum para pihak yang berkontrak.
"Supaya tidak nampak penyimpangan dalam perjanjian. Jadi, harus ada adenddum antara pihak yang berkontrak," ujar Prof. Amiruddin.
Persoalan denda keterlambatan, ahli melihat hal tersebut bisa berlaku apabila pihak pemilik proyek merasa rugi dengan adanya keterlambatan tersebut.
"Tetapi, pihak yang merasa dirugikan ini bisa melayangkan somasi terlebih dahulu. Kalau enggak memenuhi, baru proses hukum," kata Prof. Amiruddin.
Terakhir, Fadhli menanyakan perihal kerugian negara yang muncul dalam perkara pengadaan barang dan jasa.
"Ini bagaimana, ada proses audit dari APIP (aparat pengawasan intern pemerintah) yang sedang berjalan, tiba-tiba persoalannya masuk ke ranah pidana?" tanya Fadhli.
"Sepatutnya diselesaikan dahulu pelanggaran administratifnya di APIP, supaya jangan sampai kesannya kita mengkriminalkan orang atas tindakan administratif itu," jawab Prof. Amiruddin.
Bagaimana dengan proses audit dari lembaga lain yang juga muncul bersamaan dengan proses audit oleh APIP?
"Lihat kompetensinya dahulu, yang awal itu (APIP) 'kan persoalan temuan, harusnya administratif diselesaikan lebih dahulu, baru pidana-nya," kata Prof. Amiruddin.
Terdakwa Sri Suzana dalam perkara ini berperan sebagai Kepala Disperindag Dompu yang turut mengemban tugas sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK).
Sri Suzana didakwa turut bertanggung jawab dari munculnya kerugian negara hasil audit Inspektorat NTB senilai Rp398 juta dari total anggaran Rp1,5 miliar.
Dalam dakwaan, jaksa menyatakan bahwa hasil pekerjaan proyek tidak sesuai dengan spesifikasi pengadaan hingga muncul Kerugian Negara.
Perbedaan spesifikasi tersebut diduga akibat adanya penyusunan HPS yang tidak sesuai aturan. Sejumlah item barang ada yang belum datang, namun dinyatakan lengkap oleh panitia pemeriksa.
Pelaksana proyek kementerian ini adalah CV Fakhrizal yang meminjamkan bendera kepada seorang pengusaha bernama Yanrik.(D3N)